There Is No Change To Improve
There Is No Change To Improve
Saat itu pengambilan raport, Ica mendapat ranking 1, Aca ranking 3, dan Eca ranking 10. Karena Eca iri, ia mengganti sertifikat yang didapat oleh Ica. Pada akhirnya pun, Aca dan Eca mendapat hadiah berupa jalan-jalan keliling kota bersama kedua orang tuanya, sedangkan Ica hanya berdiam diri di rumah. Hal tersebut terjadi berulang-ulang, Ica merasa bahwa kedua orang tuanya membeda-bedakan dirinya dengan kedua kakaknya. Sejak saat itulah ia lebih memilih untuk mengasingkan dirinya.
12 tahun kemudian ….
Sarapan keluarga Irwansyah berlangsung dengan khidmat, semuanya makan dengan tenang. Setelah selesai, Ica memutuskan untuk berangkat ke sekolah terlebih dahulu. Ica berpamitan dengan ayah bundanya dengan senyuman lebar yang hanya dibalas dengan muka datar orang tuanya.
SMA Nusa Bangsa ialah salah sekolah elite tempat Ica bersekolah. Di sekolah, Ica selalu dibully oleh teman-teman satu angkatan, kakak kelas, bahkan adik kelas. Ia dibully karena penampilannya yang buruk rupa tetapi selalu mendapat rangking 1. Saat bel istirahat jam pertama berbunyi ia pun pergi ke kamar mandi. Saat membuka pintu kamar mandi, pintunya tertutup rapat dan tidak bisa dibuka. Ica mencoba untuk mendobraknya, tetapi apalah daya tenaga yang ia punya tidak sekuat itu. Setelah menunggu selama 15 menit, akhirnya ia mempunyai ide yang cemerlang. “Mengapa cara ini tak ku gunakan sedari tadi ya?,” Ica berkata dalam hati sembari menepuk jidatnya. Kemudian ia kembali ke kelasnya.
Bel berbunyi menandakan waktu pulang sekolah, Ica memutuskan untuk keluar dari kelas saat teman-temannya sudah keluar. Menunggu di halte seperti biasa sambil menunggu angkutan umum, hal itu yang biasa dilakukan oleh Ica ketika pulang sekolah. Setelah menunggu selama 20 menit, angkutan umum pun datang. Di angkot hanya ada dirinya dan juga sopir angkotnya.
“Tujuannya kemana neng?,” kata pak sopir.
“Turunkan saya di Jalan Kenanga ya pak!,” jawabnya.
“Siap atuh neng”, jawab pak sopir.
Setelah 30 menit dalam perjalanan, tempat dimana Ica akan turun sudah terlihat di depan mata. Ia pun turun dari angkot dan tak lupa untuk membayar ongkos. Ica pun berjalan kaki ke tempat pom bensin, ia pergi ke kamar mandi dan menghapus make up buruk rupanya, tak lupa juga ia mencuci mukanya. Setelah selesai ia keluar dan menuju masjid untuk menjalankan kewajibannya sebagai umat Islam. Setelah selesai sholat ia pergi kembali dengan berjalan kaki ke sebuah tempat yang bisa membuatnya bahagia dan merasa tak terabaikan.
Panti Asuhan Kasih Ibu, tempat yang didirikan oleh Ica. Tempat tersebut ia dapatkan dari hasil jerih payanya bekerja sebagai guru privat sejak ia berumur 10 tahun. Tidak usah terkejut, Ica memang anak kecil yang sangat cerdas. Tidak ada yang tahu bahwa Ica mendirikan sebuah panti asuhan.
Di panti asuhan ia bertemu dengan anak-anak kecil dan bermain-main dengan mereka. Setelah puas bermain ia memutuskan untuk pulang karena jam sudah menunjukkan pukul 10.00 malam. Ica pulang kembali ke rumahnya dengan angkutan umum. 45 menit kemudian, ia pun telah sampai di rumahnya. Dia pun masuk dengan mengendap-endap, seisi rumah pun sudah gelap. Tiba-tiba lampu pun menyala dengan terangnya.
“Darimana saja kamu?, anak gadis kok pulangnya larut malam seperti ini,” bentak Irwan, ayah Ica.
“Apa urusan ayah, mana peduli ayah dengan Ica, ayah hanya memikirkan kedua anak kebanggaan ayah,” jawab Ica.
Sang ayah pun merasa marah dan secara reflek menampar pipi Ica, Ica pun terkejut. Ica merasa pipinya sangat perih dan bibirnya sobek. Ica pun segera lari ke lantai 3 menuju kamarnya. Di dalam kamar ia pun menangis hingga tertidur.
Esok harinya Ica pun bangun dari tidur lelapnya dan bergegas pergi ke sekolah. Hari ini pelajaran olahraga, hal yang sangat dibenci oleh Ica, ia mempunyai riwayat penyakit kanker darah yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri, dokter pribadinya, dan juga Tuhan. Saat sedang lari keliling lapangan ia merasa bahwa kepalanya terasa sangat sakit dan darah segar mengalir dari hidungnya. Ica pun izin kepada gurunya untuk ke kamar mandi sembari menutupi hidungnya dengan tangan. Setelah selesai ia memutuskan untuk istirahat di UKS sampai jam pulang. “Aku telah melewatkan jadwal kemoterapiku selama 2 tahun penuh. Ku kira penyakit ini sudah hilang, ternyata kembali muncul,” piker Ica dalam hati. “Apa yang harus aku lakukan Tuhan?,” lanjutnya sambil menangis.
Tiba waktunya untuk pulang ke rumah. Untuk kali ini Ica lebih memilih pulang dengan ojek online (mobil) karena kepalanya masih sangat pusing. Setelah sampai rumah, ia memustuskan untuk beristirahat. Malamnya ia berfikir bahwa besok ia akan berangkat ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi tubuhnya.
Hari Minggu pagi pukul 09.00 ia berangkat dari rumah ke Rumah Sakit Delta Husada dengan diantar oleh sopir pribadi keluarganya. Setelah sampai, ia memutuskan untuk langsung datang ke ruangan Dokter Nina karena ia sudah mempunyai janji dengan dokter pribadinya tersebut. Dokter Nina ialah dokter yang dulu menangani penyakitnya. Ica membicarakan semua yang dialaminya kepada Dokter Nina.
Setelah konsultasi ia pun pergi pulang dengan mobil jemputannya. Ica meminta sopirnya untuk pergi ke apotek. Ia menukarkan resep dari Dokter Nina, karena Dokter Nina mengatakan bahwa obat itu sedang tidak tersedia di rumah sakit.
1 minggu kemudian ….
Upacara bendera, mulai saat ini ia juga membenci kegiatan itu. Di tengah-tengah kegiatan, Ica pingsan. Selama 1 jam lebih Ica pun tak kunjung sadar, petugas UKS pun segera memanggil ambulance dan membawanya ke rumah sakit terdekat. Secara kebetulan rumah sakit terdekat SMA Nusa Bangsa ialah Rumah Sakit Delta Husada. Petugas UKS pun segera menelepon Bunda Ica, yang hanya dijawab “biarkan saja”. Ica pun menjalani kemoterapi tanpa orang tuanya tahu.
7 bulan kemudian ….
Hari ini si kembar 3 berulang tahun, tetapi saat itu kesehatan Ica benar-benar sangat menurun. Ketika ingin pulang sekolah, hujan sedang mengguyur Kota Bandung. Karena memang hari ini perayaan ulang tahunnya dan kakak kembarnya, Ica ingin segera pulang. Hari ini Ica bersekolah dengan menggunakan motor. Ketika hujan turun dengan deras, Ica terpaksa pulang dengan tubuh yang sudah basah kuyup.
Jalan raya sangat licin dan jarang kendaraan lewat, Ica mempercepat laju motornya. Dari arah berlawanan terdapat truck yang melaju dengan sangat kencang. Ica pun bingung harus melakukan apa, akhirnya Ia memilih untuk banting setir, saat itulah gelap menyelimuti penglihatannya.
Kring kring …. (suara handphone Bu Fania berbunyi).
“Siapa ini?,” pikir Bu Fania, bunda Ica.
“Halo?,” sapa Bu Fania.
“Dengan Bu Fania?,” tanya seseorang di ujung telepon.
“Iya saya sendiri, sebelumnya maaf dengan siapa saya bicara dan ada apa?,” tanya Bu Fania.
“Saya dari Kapolsek ingin mengatakan bahwa motor dengan nomor polisi D 1942 IC telah mengalami kecelakaan dan si pengguna dalam keadaan koma di Rumah Sakit Delta Husada,” jawab polisi.
Bu Fania pun terkejut, HP yang ia pegang pun terjatuh. Bu Fania langsung berteriak dengan suara kerasnya “Ayah, Eca, Aca!!!,” ucapnya sambil menangis. Ketiga orang yang dipanggilnya pun datang dengan tergesa-gesa. “Ada apa Bunda?,” Tanya Aca. “Ica … Ica … kecelakaan,” ucap Bu Fania dengan tangisan yang amat memilukan.
Keluarga Irwansyah pun dengan cepat pergi ke rumah sakit. Mereka dengan segera menuju ruang rawat Ica. Kondisi Ica sangat mengkhawatirkan, berbagai macam alat menempel pada tubuhnya. Dokter Nina pun memanggil ayah dan bunda Ica untuk membicarakan masalah penyakit yang diderita oleh Ica. Sedangkan Aca pergi ke taman rumah sakit.
“Bagaimana keadaan anak saya dokter?,” tanya Pak Irwan.
“Keadaan Ica tak dapat dipastikan Pak, Bu, terbenturnya kepala ica pada saat kecelakaan bisa menimbulkan gegar otak. Sebenarnya ada yang ingin saya bicarakan dengan bapak dan ibu,” jawab Dokter Nina.
“Apa itu?,” kini giliran Bu Fania yang menjawab.
“Sebenarnya saya adalah dokter pribadi dari Ica, ia memiliki riwayat penyakit kanker darah dan telah memasuki stadium akhir, hanya Allah lah yang dapat memberikan kesembuhan kepada Ica. Tugas bapak dan ibu hanyalah berdoa,” kata Dokter Nina.
“Astaghfirullahaladzim Ica,” ucap Bu Fania sambil menangis.
Alat elektrodiograf terus berbunyi yang menandakan masih adanya tanda kehidupan. Tak lama setelah itu, jemari kecil Ica pun bergerak. Eca yang melihatnya pun segera memencet tombol untuk memanggil dokter, tetapi tangan mungil Ica menahannya.
“Abang Ica mau pergi, Ica titip ayah, bunda, dan Aca ya. Jaga mereka baik-baik. Ica punya satu permintaan untuk abang, nanti kalau Ica sudah pulang rawat panti asuhan yang Ica punya ya. Oh ya, Ica belum bilang ya, Ica punya panti asuhan bang,” ucap Ica dengan senyuman yang memilukan.
“Panti asuhan?,” tanya Aca, ia sangat terkejut.
“Iya, rawat mereka ya bang. Untuk biayanya tak usah khawatir, di lemari samping tempat tidur ada tabungan Ica bang, itu buat biaya kehidupan mereka ya bang. Kalaupun kurang abang bisa menjual barang-barang yang ada di kamar Ica,” ucap Ica.
“Maafin abang ya dek. Abang belum bisa jadi abang yang baik untukmu, abang akan merawat panti asuhanmu, abang akan menggunakan tabungan abang untuk menghidupi mereka,” kata Aca sambil menangis.
“Terimakasih abang, Ica pergi sekarang ya. Abang jangan nangis, Ica udah maafin semua kesalahan yang telah diperbuat oleh orang yang telah menyakiti Ica. Allah aja Maha Pemaaf masak Ica eenggak. Dah abang,” kata-kata terakhir Ica ucapkan kepada kakaknya.
Elektrodiograf telah menunjukkan garis lurus, memperlihatkan bahwa seseorang itu pun sudah tak bernyawa. Keluarga Irwansyah segera melakukan prosesi pemakaman anak bungsunya.
Keesokan harinya, keluarga Irwansyah berniat untuk memasuki kamar Ica. Di lantai ketiga rumah ini hanya ada satu ruangan, itulah kamar Ica. Suasana di dalam kamar sangat hening. Disana mereka melihat banyak sekali piagam penghargaan dan piala yang berjejer rapi di lemari khusus. Aca tak sengaja melihat secarik kertas di samping tempat tidur, ia pun mengambilnya
Saat kalian membuka kertas ini aku sudah takada ya. Gimana kabar ayah, bunda, kak aca, sama bang Eca, semoga baik-baik saja. Ica sangat rindu masa kecil Ica, dimana saat itu keluarga kita bisa kumpul dengan lengkap. Tapi Ica sadar, perlahan-lahan kalian mulai menjauh dari Ica. Ica takapa, Ica bahagia ngeliat kalian bahagia. Maafin Ica, Ica pernah berbicara dengan nada membentak. Tetapi Ica percaya, everythng will be beautifull in its time right?. Ketika waktu indah itu datang Ica tak ada disana bersama kalian. Sudahlah surat Ica kepanjangan, capek tangan Ica nulisnya hehe, Ica udah maafin kalian kok (. Goodbye world.
Memang benar, penyesalan akan datang di akhir. Kalau sudah begini taka da lagi yang bisa dilakukan. Tetapi mereka tak ingin berada dalam rasa ssesal terus menerus, seperti kata Ica, Everything will be beautifull in its time.
Tamat …
Wah bagus
BalasHapusWah bagus
BalasHapusPanjang amat
BalasHapus